Minggu, 05 Juni 2016

Hujan yang membantuku

Hujan yang membantuku

Hujan begitu deras, suaranya saja membuatku tidak bisa melanjutkan tidur padahal semalam aku baru tidur jam 3 pagi. Masing ngantuk apalagi dalam suasana dingin karena hujan di pagi hari. Belum lagi pulih kesadaranku karena masih “memperjuangkan” untuk bisa tidur lagi, HP di samping tempat tidurku bergetar, sengaja aku silent kalau malam hari untuk tidak mengganggu tidurku. Aku lihat, ada tiga kali miscall dari pak Brata, manajer pengelola mal Melati yang tidak jauh dari kamar kontrakanku, tapi yang telepon kali ini mbak Anas. “Ada apa ya? Kok pak Brata dan mbak Anas telepon aku, apakah mereka membawa kabar yang sama?” aku bertanya-tanya dalam hati.

Aku jawab teleponnya, “Pak Bayu, pak Brata minta tolong saya untuk menghubungi pak Bayu. Katanya pak Brata minta pak Bayu untuk kerja hari ini, ngepel mal karena hujan jadi mal akan banyak basahnya. Cepet ya pak, kalau bisa sekarang sudah ditunggu pak Brata. Katana berkali-kali pak Brata telepon pak Bayu nggak ada jawaban. Sekarang ya pak. Ditunggu di gate 3, dekat kios buah. Sudahan ya pak”. Ah, belum sempat ngomong, HP sudah ditutup. Memang kebiasaan Anas kalau telepon aku selalu seperti itu. Selalu monolog. Padahal dia belum tahu aku bisa apa tidak. Tapi memang, aku tidak bisa menolak permintaan Anas, seberapa beratnya selalu aku lakukan. Dan Anas tahu itu, jadi dia tidak memerlukan jawabanku, tapi bagaimana jika aku sakit, yang sudah barang tentu tidak bisa mengerjakan perintah pak Brata?

Ah Anas…. Selalu saja anak ini seperti itu.

Aku bersyukur, hari ini aku mendapat rejeki di pagi hari, paling tidak hari ini aku tidak bingung mau makan apa karena biasanya pak Brata member jatah makan siang di sampling honor ngepel gedung.

Hujan masih saja deras di luar.

Aku memakai sepatu ketsku yang masih agak basah karena belum sempat aku keringkan setelah semalam aku kehujanan sepulang dari membantu membereskan pesta perkawinan di kampung sebelah. Lumayan karena seharian aku dapat makan, dan pulangnya masih diberi nasi kotak dan kekantung kue yang tersisa. Nasi kotak aku bawa untuk bekal makan pagiku dan kuenya aku simpan untuk malam nanti. “Moga-moga bisa tahan sampai nanti malam”, harapku dalam hati. Kumasukkan nasi kotak, kuisi botol minumku, kuraih topiku dan aku berangkat setelah mematikan lampu dan mengunci kamar.

Dengan berpayung aku ke gate 3 mal Melati. Kebetulan gate 3 paling dekat dengan kontrakanku dibanding dengan gate-gate lainnya. Dari kejauhan, aku sudah melihat bayangan pak Brata yang mulai resah menunggu kedatanganku, dan dari gelagatnya aku merasa ada yang tidak beres yang terjadi di mal Melati. Dan benar saja, begitu melihat aku datang mengarah kepadanya, pak Brata melambaikan tangannya memintaku untuk cepat berjalan menemuinya.

“Pak, cepat ambil kain pel dan pel lantai 1 dan 2 karena basah dimana mana” perintahnya, padahal aku belum sempat masuk ke dalam gedung. Rupanya ada jendela nako di lantai 1 dan 2 yang tidak tertutup dengan baik semalam, sehingga air hujan masuk dan membasahi lantai di sekitarnya. Karena hujan yang berkepanjangan, rupanya air hujan telah mengalir kemana-mana. Kini kaca nako itu sudah ditutup dengan baik oleh pak Brata.

“Sebentar lagi pemilk kios akan datang membua kios dan tokonya, kalau lantai basah bisa tidak aman dan mereka bisa complain ke saya. Cepat ya pak” perintahnya. Dalam hatiku, bagaimana aku bisa menyelesaikan pekerjaan itu kurang dalam satu jam? Tapi karena memang aku butuh pekerjaan dan sekarang ada pekerjaan, maka tanpa pikir panjang aku menuju ke lantai dasar, ke ruangan cleaner dimana disimpan alat-alat kebersihan.

Dengan sebuah ember peras dan sebuah mop aku menuju ke lantai 1 untuk mengepel di lantai ini dulu karena para pemilik kios akan masuk lewat lantai 1. Begitu aku melihat kondisinya, aku terkejut karena air sudah kemana-mana dan pastilah tidak bisa cepat selesai dengan satu mop saja. Bergegas aku kembali ke ruang cleaner untuk mencari alat alat apa yang bisa aku pakai untuk mendorong air keluar. Hanya ada satu sapu, jadi. Tiada rotan, akarpun jadi. Dengan bantuan sapu itu aku mengeringkan lantai satu dengan cepat dan mengepelnya. Segera aku menuju ke lantai dua, sementara waktu sudah menunjukkan sekitar 15 menit lagi para pemilik kios akan mulai berdatangan. Tidak memperpanjang waktu, segera aku menyapu lantai dua. Pas ketika semua air sudah kusapu, pemilik kios pertama sudah datang, Ibu Sastro.

Dengan ramah ibu Sastro, meyapaku “Pagi mas, kok sudah lama tidak kelihatan?”.

“Iya bu, ini…….” Aku tidak tahu mau menjawab apa karena aku tahu walaupun aku jawab dengan benar dia juga tidak akan mendengarkannya, toh itu pertanyaan basa-basi, tapi ibu Sastro selalu menyapaku. Dan ibu Sastro sudah hilang di tikungan lorong kiosnya.

Baru saja aku mulai ngepel, tiba-tiba ibu Sastro muncul dan dengan sedikit berlari mendekatiku, “Mas di depan kios saya kok banjir ya?”, tanyanya agak kesal.

“Maaf bu, saya tidak tahu kalau di sana juga banjir, sebab pak Brata hanya melaporkan daerah ini saja. Saya segera ke sana bu”, aku mengikuti langkah ibu Sastro ke kiosnya, dan ternyata tidak seperti yang dia ceritakan. Air memang tergenang tapi tidak sampai separah seperti di depan kios bu Lina. Dengan cepat aku menyapu airnya dan mengepel. Beres.

Rupanya ketika aku mengerjakan daerah di depan ibu Sastro, para pemilik kios sudah pada berdatangan. Tidak ayal lagi, lantai dua jadi kotor bekas tapak sepatu mereka, karena tadi belum sempat aku pel kering. Kesal juga, tapi yah apa boleh buat. Mungkin mereka tidak terlalu memperhatikan kalau lantai 2 masih masah dan belum dipel. Salahku juga tidak menempatkan tanda “Caution, wet floor” untuk memberi tanda kalau daerah itu basah.

Baiklah, aku kembali ke ruang cleaner dan mengambil semua tanda “Caution, wet floor” dan menempatkannya tersebar di lantai 2. Suasana masih pagi dan tidak cukup panas untuk bisa cepat mengeringkan lantai yang baru saja aku pel. Kalau di lantai satu bisa kuselesaikan selama kurang lebih 1 jam, di lantai 2 ini hampir 2 jam, hingga benar-benar semua pemilik kios datang. Aku lihat mbak Anas juga sudah datang, tapi mal belum lagi secara resmi dibuka. Masih setengah jam lagi. Atas bantuan Satpam, pak Soleh, pekerjaanku lebih cepat. Pak Soleh bukan ikut ngepel tapi mambantu aku memberitahu daerah-daerah yang masih basah dan supaya tidak dilalui orang karena kalau dilalui maka harus dipel lagi karena pasti berbekas.

Sambil mengepel, ibu Tari, ibu Esti, ibu Retno, pak Toni minta aku datang ke kiosnya untuk memesankan sarapan. Aku bilang kalau pekerjaan ini harus diselesaikan ini dulu baru bisa ke sana. Mereka nggak masalah dan bisa menunggu.

Setelah selesai di lantai dua, di beberapa tempat yang masih basah, tanda “Caution, wet floor” aku pindahkan dan posisikan sedemikian rupa sehingga tidak mungkin dilalui orang. Aku tinggal merapikan beberapa spot di lantai 1 yang kotor karena injakan. Daerah yang paling kotor adalah di depan toilet. Pusing aku, mengapa daerah ini tidak bisa kering dan bersih. Daerah ini aku pel paling akhir dan tempatkan tanda itu.

Selesai itu, aku menghadap pak Brata melaporkan kalau pekerjaan selesai. Pak Brata tampak puas, tapi kurang puas untuk daerah di depan Toilet. Dia minta aku tinggal sampai saat makan siang dan selama jeda waktu, aku diminta untuk terus mengepel daerah –daerah yang memang perlu dipel, tidak hanya di lantai 1 dan 2 saja.

Syukurlah…. Rejekiku diperpanjang. Hatiku senang. Ini alamat bisa dapat jatah makan malam. Demikian biasanya pak Brata memperlakukan aku. Tapi aku minta izin untuk makan sarapanku dan melayani beberapa ibu dan pak Toni untuk sarapan mereka. Pak Brata oke.

Segera aku menemui ibu Tari, ibu Esti, ibu Retno, pak Toni untuk pesanannya. Ibu Tari seperti biasanya selalu pesan indomie kuah rasa kari pakai telor dan Lombok rawit tiga buah diiris. Ibu Esti, biasanya roti bakar keju tapi kali ini dia minta nasi goreng kecap saja. Ibu Retno, juga pesan seperti biasanya, bubur kacang hijau dan ketan itam tapi kacang hijaunya dobel porsinya. Tidak megherankan kalau ibu ini kulitnya kuning mulus. Hus! Pak Toni, pesanannya yang agak aneh yaitu nasi Padang, padahal warung Padang pada umumnya belum buka jam-jam segitu. Untungknya aku kenal tukang masak warung Padang “Saiyo” yang dekat dengan mal dan mereka sudah tahu bagaimana pesanan pak Toni itu. Jadi mereka maklum saja. Lauknya rendang dan sambel ijonya banyak. “Apa nggak mules ya?” itu yang selalu terbersit di hatiku kalau ingat pesanan pak Toni.

Sambil menuju ke warung, aku mampir ke ruang cleaner lagi mengambil nasi kotak yang aku dapatkan semalam. Aku cek, masih oke hanya sambel atinya saja yang mulai agak basi dan nasinya sudah agak kering. “Ah, nggak apa-apa. Mendingan busuk di perutku saja”. Aku pesan nasi goring dulu karena ini yang lama. Sambil menunggu aku menyantap nasi kotakku. Hampir habis nasi kotakku, pesanan nasi goreng siap. Aku meluncur ke kacang hijau. Cepat saja karena tinggal nyendok aja, lagipula kang Amat sudah hapal. Dari kejauhan aku sudah kasih kode ke kang Amat untuk satu pesanan yang biasa. Beres. Lalu ke roti “Saiyo”, ini juga sudah hapal dengan pesanan pak Toni. Tapi kali ini ada pesan dari warung kalau sambe ijonya kurang pedas karena Lombok sedang mahal. Oke, copy. Terakhir baru pesan indomie. Kalau indomie dipesan di awal, biasanya mie jadi kembang dan kurang enak dimakan. Sambil menunggu pesanan, aku menghabiskan nasi kotakku. Habis sudah dan satu gelas air putih dari warung indomie menuntaskan sarapanku hari ini. Terima kasih ya Mahakuasa. Dan pesanan jadi, beres semuanya.

Kembali ke mal, aku mengantarkan pesanan sarapan ke mereka. Lumayan juga, dari tip mereka, cukup untuk satu kali makan dan ada hadiah buah jeruk keprok dari pak Toni, katanya dapat oleh-oleh dari tetangga yang baru pulang dari Probolinggo. Ya….”Terima kasih semua”.

Setengah hari ini aku lewati dengan gembira karena pekerjaannya tidak berat dan telah menjadi batu tumpuan hidupku, paling tidak untuk dua hari kedepan. Terima kasih. Makan siang dapat nasi Padang dari pak Brata, tapi aku tidak memakannya sekarang, dan uang makan malam serta gaji ngepel hari itu lima puluh ribu. Lumayan.

Dari saat lepas kerja di pak Brata sampai sore aku jalan-jalan saja dan makan jeruk dari pak Toni. Nasi Padang baru aku makan ketika aku benar-benar lapar, sekitar jam 3 siang. “Biar makan malamnya nanti kue yang dari acara kemarin saja”, pikirku dalam hati. Kadang aku berpikir bagaimana aku bisa lebih memanfaatkan hidupku. Kadang aku juga pingin punya usaha sendiri, tidak selalu tergantung oleh orang seperti sekarang ini. Tapi bagaimana?


(Greenslopes, Australia, 5 Juni 2016, 10:22 pm. Di meja kamarku)

Sabtu, 01 November 2008

Selera

Dalam sebuah promosi masakan, pernah saya baca kalau opor yang setiap tahun menjadi lauk utama perayaan lebaran Iedul Fitri atau lebaran ketupat, bumbunya terdiri dari 14 jenis bumbu. Apa saja bumbu - bumbu itu? Ha ha ha, saya tidak tahu lengkapnya. Yang saya tahu adalah bawang, brambang, laos, garam, gula, merica, sereh, dan . . . . ya gitulah saya tidak tahu.

Apakah dengan banyaknya jenis bumbu akan membuat masakan enak? Nggak selalu. Kata orang bumbu yang paling enak adalah selera. Selera erat hubunganya dengan situasi perut dan situasi lingkungan di sekitar kita.

Saya masih ingat waktu kami masih kecil, kalau kami sekeluarga bepergian dan makan di perjalanan, biasanya ayah akan mencari tempat yang aman agak jauh dari jalan, biasanya di pinggir sawah, ada gemericik air (sawah), biasanya ayah akan mencari air yang bening, dan di bawah pohon rindang sehingga panas yang terik tidak "menyiksa" kami sekeluarga. Ibu akan menggelar tikar di samping mobil yang oleh ayah dijadikan "pembatas" antara kami dan jalan raya. Lalu dibongkarlah bekal makanan kami.

Bekal kami biasanya sardin goreng balado, kentang - teri goreng balado, telor pedas, dan tumis sayur. Nasi dibungkus dengan menggunakan daun pisang yang dipanasi untuk mencairkan lilin daun dan makannya dengan mengalasinya dengan piring seng bergambar ikan besar atau bunga ros dengan latar belakang gambarnya kesan berwarna biru dan hijau muda atau langsung menungkanya di dalam piring.

Saya mungkin belum bisa "menghargai" masakan yang disiapkan ibu tetapi dengan melihat cara ayah makan, sudah bisa dipastikan bahwa ayah menikmati masakan ibu. Tidak ada bumbu istimewa dari masakan ibu, namun karena suasana yang menunjang maka selera makan kamipun menjadi meningkat. Sardin balado, kentang - teri, dan telor balado, apalah bumbunya? Hanya berambang goreng dan jeruk nipis. Bumbunya tidak sebanyak bumbu opor, namun berhasil "win" selera makan kami. Apalagi jika kita lapar, ada angin dingin sepoi yang bertiup di sekitar kita, mendengarkan gemericik air . . . . siapa yang tidak lahap makannya. Sering juga kan, kita makan hanya dengan ikan asin, sambel terasi, lalap mentimun - daun kemangi, dan nasi hangat bisa membuat kita "lupa diri". Selesai makan biasanya baru kita sadar kalau kita kepedesan dan kekenyangan. Apa bumbu sambel terasi? Nothig, cuma terasi dan jeruk (purut) saja yang utama. Betul nggak?

Praktek semacam itu kini saya terapkan. Setiap bepergian dengan keluarga, maka tidak pernah ketinggalan sadin balado atau sambel terasi pasti menemani perjalanan kami.

Rabu, 22 Oktober 2008

Penumpang Yang Terhormat

Pernah coba telepon di bandara Cengkareng? Sudah bisa dipastikan lawan bicara kita akan tahu dimana kita, terutama pada jam – jam sibuk penerbangan, karena pasti mereka bisa mendengar panggilan atau pengumuman dari announcer bandara. Kasihan mereka yang suara teleponnya kecil pasti mereka terganggu atau jika mereka sedang berdiskusi hal penting pasti terinterupsi konsentrasinya.

Di bandara Cengkareng (dan mungkin juga bandara – bandara lainnya), jika ada penumpang yang tidak muncul di dalam pesawat maka satu – satu mereka akan dipanggil. Kenapa sih kok sampai dipanggil – panggil segala? Bukankah pada saat check in mereka sudah tahu kapan masuk pesawat (boarding) dan dimana mereka harus boarding? Kalau saja mereka tidak dipanggil dan kemudian tertinggal pesawat, apa jadinya? Jadinya adalah “Pengalaman adalah guru yang baik”. Jadi tinggal saja mereka dan biarkan penumpang lain menikmati kenyamanan dan keindaha bandara Cengkareng dengan tenang. Dengan adanya “fasilitas” ini, para penumpang sendiri “anggap enteng” situasi itu.

Kalau kita tidak mulai dari sekarang, kapan penumpang pesawat kita menjadi mandiri dan berdisiplin terhadap diri sendiri? Bayangkan, jika panggilan – panggilan ini tidak dilakukan dan semuanya menjadi teratur . . . mungkin kita akan lebih baik hidupnya.

Aston Inn, Bali

19 Oktober 2008

20:13 wita

Lounge

Pernah masuk lounge? Itu lho ruangan yang dirancang untuk customer kartu kredit yang akan bepergian naik pesawat terbang. Di dalamnya disediakan berbagai fasilitas untuk memanjakan calon penumpang. Ada internet, snack manis, snack asin, makanan besar, air putih, aneka macam juice, koran – majalah, boarding reminder, dan mainan untuk calon penumpang anak – anak.

Tidak sukar untuk masuk lounge, tinggal menyodorkan kartu kredit berkelas, maka anda akan dengan bebas bisa mendapatkan segala fasilitas di dalamnya. Tapi, ya itu . . . kalau tidak punya kartu kredit, tentu saja tidak bisa masuk. Namun demikian bagi mereka yang tidak bisa masuk lounge karena tidak punya kartu kredit atau kartu kreditnya masih di kelas “rendah” sebenarnya tidak perlu berkecil hati karena apa yang anda miliki tidak mencerminkan bahwa anda lebih “rendah” dari pada mereka.

Dalam benakku, mereka yang masuk ke lounge, mustinya orang - orang yang berpenghasilan cukup karena hal ini merupakan salah satu syarat untuk bisa mendapatkan kartu kredit. Hal ini dibuktikan dengan slip gaji atau keterangan perusahaan. Jika “berpenghasilan cukup” bisa dikorelasikan dengan “berpendidikan” atau “bertata krama” maka yang masuk ke launge adalah mereka yang berpendidikan atau yang mempunyai tata krama. Lihat saja cara berja berpakaian, semuanya sopan dan bersih, kalau ada satu – dua yang tidak seperti itu, bisa ditebak mereka adalah turis yang mungkin karena kondisi lingkugan yang panas membuat mereka seperti itu, tapi yang ini jumlahnya tidak banyak.

He he he he, beberapa kejadian lucu di dalam lounge :

  1. Cara makan. Walaupun mereka berpakai rapi dan semestinya bertata krama, tetapi tidak dalam hal makan. Kebisaan serakah masih saja dipratekkan. Seperti orang yang tidak pernah makan cukup, dengan mengambil banyak makanan tetapi tidak habis dimakan lalu ditinggalkan begitu saja. Padahal makanannya tidak busuk lho. Apa mungkin mereka cuma sekedar mengicip saja?
  2. Membuang sampah. Kalau tempat sampah ada di sekitar tempat duduknya, bisa dipastikan mereka membuang sampah di tempatnya, tetapi biasanya mereka memilih tempat yang jauh dari tempat sampah karena alasan tertentu, bau biasanya. Ada beberapa orang yang malas berjalan dan membuang sampaj dengan berpura – pura tidak tahu. Membuang tissue tidak secara langsung ke lantai tetapi dengan berpura – pura tissuenya terjatuh di lantai . . .sebenarnya meraka tahu tuh.
  3. Kebiasaan membaca. Di deretan big meal ada sederatan tray dan tempat makan yang di depannya diberikan tulisan tentang apa isinya. Beberapa orang terlihat membuka tempat sup untuk memeriksa apa isinya. Masih untung mereka hanya memeriksanya, khawatirnya mereka juga mencicipi apa rasanya, bisa berabe. Padahal di depan tempat sup itu sudah jelas tertulis “sup jagung”, tapi tetap saja dibuka dan pencedok sup diangkat untuk mengetahui apa siainya. Ya sudah tentu sup jagung lah . .
  4. Main buka seperinya sudah menjadi hal yang bisa, ini juga terjadi di chiller kaca yang tembus pandang, biasanya berisi minuman dingin, rujak, juga jadi tempat gelas juice disimpan. Sudah jelas lemari itu tembus pandang dan siapa saja bisa melihat apa isinya, tetapi tetap saja dibuka untuk dillihat apa isinya. Nggak masuk akal tetapi ini terjadi.
  5. Pegang langsung. Jika makanan itu terbungkus plastik seperti kue lapis, mungkin memagang langsung kue itu masih bisa diterima, tetapi kudapan lain seperti tahu goreng, mendoan tidak dibungkus plastik, tetapi mereka mengambilnya dengan tangan langsung walaupun cepitan makanan sudah disiapkan.
  6. Kalau duduk, biasannya memang kita menari jarak duduk untuk privasi dan kenyamanan, tetapi toleransi tidak ditunjukkan oleh mereka. Meletakkan barang di kursi sedemikian rupa sehingga kursi yang semestinya bisa dipakai oleh orang lain akhirnya tidak bisa dipakai. Walaupun kita udah berjalan berputar – putar di tempat itu, masih saja barang itu tidak ditunkan. Cuek, githo lhooo. Klo toleransinya tinggai mustinya mereka yang menawarkan diri untuk memindakan barang itu, bukan si pencari kursi yang bertanya karena bisa saja barang itu bukan milik orang ada di sebelahnya.

Belum lagi hal – hal kecil lain seperi tidak mengembalikan koran/majalah yang dibacanya, tertawa terbahak bahak tanpa kontrol.

Jadi mereka yang tidak bisa masuk launge bandara dan merasa “lebih rendah”, percayalah bahwa hal itu nggak benar dan bisa lebih bermartabat walaupun nggak punya kartu kredit yang dipakai untuk berhutang itu, , , ,

Bandara Ngurah Rai, Bali

19 Oktober 2008

12:42 wita

Selasa, 14 Oktober 2008

Mataram Dan Kesanku : Bandara Selaparang

Tanggalnya aku lupa, tapi tahunnya aku ingat, yaitu 2005. Untuk kesekian kalinya aku ke Mataram. Paling tidak sudah 3 kali aku ke Mataram, Nusa Tenggara Varat dan itu yang keempatkalinya. Yang pertama sekitar tahun 1985, yang kedua sekitar tahun 1990, dan yang ketiga tahun 2000. Kunjungan yang pertama sampai ketiga tidak menimbulkan kesan yang begitu mendalam dibandingkan dengan kunjungan keempat ini.

Begitu mendarat di bandara Selaparang, aku melemparkan pandangan ke sekeliling bandara dan aku melihat jajaran pegunungan, yang kemudian aku tahu ternyata hanya ada satu gunung, Gunung Rinjani, membentengi bandara Selaparang. Seperti dekorasi bandara yang dilukis dengan sempurna. Belum lagi aku puas menikmati keindahan "lukisan" itu, aku disadarkan betapa segarnya udara di Mataram. Aku bersyukur, bahwa aku masih bisa merasakan semuanya itu secara sadar dan dalam kondisi badan yang sehat. Kalau saja, tidak banyak orang di bandara itu, mungkin aku akan meniru perilaku Sri Paus yang selalu mencium tanah dimana dia mendarat, tapi itu tidak aku lakukan, malu.


Sejauh mata memandang, hanya hijau dan hijau. Semakin jauh kita menerawang, kombinasi warna biru alami menggeluti warna hijau dedaunan. Sesekali rombongan burung kuntul yang berwarna putih melintas perlahan di atas bandara dan burung pipit dalam gerombolannya yang besar menyusulnya. Awan putih bergerombol kecil - kecil menggantung di mega biru seperti diletakkan oleh tangan mahabesar di sana. Belum lagi sebersit awan yang "tersangkut" di puncak gunung, Gunung Rinjani, seperti berusaha menyembunyikan bagiannya yang penting agar tidak bisa aku pandangi. Indah semuanya.

Pemandangan yang indah dan udara yang segar, yaa . . . . . dua perpaduan yang jarang bisa aku temukan di kota - kota besar di Kalimantan, dimana aku berpetualang. Belum lagi panasnya sinar matahari yang menyentuh kulitku, terasa ringan. Panasnya tidak terik dan tidak terlalu membuat berkeringat. Apalagi terkena hembusan angin yang sejuk.

Pelan - pelan dalam hatiku, aku berharap agar aku bisa bertempat tinggal di Mataram, NTB.

Bandara Selaparang telah memikatku!